1. Proses Pembuatan
Sabun (Saponifikasi)
Proses pembuatan
sabun terdiri dari proses panjang mulai dari pengolahan sampai pembungkusan
(packaging). Produk pembersih ini biasanya terdiri 3 bentuk/wujud utama:
batangan [bar], serbuk/bubuk [powder] dan cairan [liquid] (beberapa produk
cairan bahkan ada yang pekat/kental seperti jelly).
Sabun hasil reaksi dengan sodium
hidroksida (NaOH) biasanya lebih keras dibandingkan dengan penggunaan Potasium
Hidroksida (KOH). Neat soap ini kemudian dikeringkan di drier unit sampai
mencapai bentuk pellet (butiran padat), dimana besarnya kandungan air dalam
bentuk pellet ini diatur sesuai kebutuhan spesifikasi sabun yang diinginkan. Butiran
ini kemudian di campur di mixer [amalgamator] dengan bahan tambahan lainnya
seperti pewarna, perfume, softener, dll. Campuran kemudian di extrude (ditekan)
melalui plodder menghasilkan batangan sabun yang kemudian di potong di mesin
pemotong [cutter] dan menuju proses pencetakan di mesin stamping/press menjadi
bentuk-bentuk tertentu, baru kemudian di bungkus di unit packaging. Sabun dibuat dari lemak
[hewan], minyak[nabati] atau asam lemak (fatty acid) yang direaksikan dengan
basa anorganik yang bersifat water soluble, biasanya digunakan caustic
soda/soda api (NaOH) atau KOH (kalium hidroksida) juga alternative yang sering
juga dipakai, tergantung spesifik sabun yang diinginkan.
Reaksi ini biasa disebut reaksi penyabunan (saponifikasi) [saponification reaction].
Oil + 3 NaOH —> 3 Soap + Glycerol Selain dari reaksi diatas sabun juga bisa dihasilkan dari reaksi netralisasi Fatty Acid [FA], namun disini hanya didapat sabun tanpa adanya Gliserin [Glycerol], karena saat proses pembuatan Fatty Acid, glycerol sudah dipisahkan tersendiri.
FA + NaOH —> Soap + Water Pada awalnya, proses saponifikasi ini masih dilakukan dengan metoda pemasakan/pendidihan per batch ketel [tidak berkesinambungan], namun setelah perang dunia II pengembangan proses secara kontinyu terus dilakukan. Dan proses kontinyu ini sekarang lebih banyak digunakan, karena selain lebih fleksibel, dan cepat juga lebih ekonomis. Kedua proses diatas masih menghasilkan sabun masih mentah berbentuk cair [panas], biasa disebut neat soap, disamping menghasilkan produk samping lain berupa glycerol dalam bentuk spent lye yang kemudian diolah lebih lanjut di unit glycerol. [glycerol adalah material utama dalam industri makanan, kosmetik, obat-obatan dll]. Proses tersebut biasanya untuk jenis sabun toilet soap, namun untuk laundry soap tahapnya lebih singkat, hanya sampai mesin pemotong, dimana di cutter unit ini biasanya dilengkapi dengan cetakan untuk membuat brand sabun dan kemudian di pack.
Reaksi ini biasa disebut reaksi penyabunan (saponifikasi) [saponification reaction].
Oil + 3 NaOH —> 3 Soap + Glycerol Selain dari reaksi diatas sabun juga bisa dihasilkan dari reaksi netralisasi Fatty Acid [FA], namun disini hanya didapat sabun tanpa adanya Gliserin [Glycerol], karena saat proses pembuatan Fatty Acid, glycerol sudah dipisahkan tersendiri.
FA + NaOH —> Soap + Water Pada awalnya, proses saponifikasi ini masih dilakukan dengan metoda pemasakan/pendidihan per batch ketel [tidak berkesinambungan], namun setelah perang dunia II pengembangan proses secara kontinyu terus dilakukan. Dan proses kontinyu ini sekarang lebih banyak digunakan, karena selain lebih fleksibel, dan cepat juga lebih ekonomis. Kedua proses diatas masih menghasilkan sabun masih mentah berbentuk cair [panas], biasa disebut neat soap, disamping menghasilkan produk samping lain berupa glycerol dalam bentuk spent lye yang kemudian diolah lebih lanjut di unit glycerol. [glycerol adalah material utama dalam industri makanan, kosmetik, obat-obatan dll]. Proses tersebut biasanya untuk jenis sabun toilet soap, namun untuk laundry soap tahapnya lebih singkat, hanya sampai mesin pemotong, dimana di cutter unit ini biasanya dilengkapi dengan cetakan untuk membuat brand sabun dan kemudian di pack.
Langkah pemrosesan akhir adalah
pelet sabun akan melalui proses selanjutnya di unit Finishing Line. Unit ini
terdiri pertama di baris adalah mixer, atau disebut suatu amalgamator, di mana
pelet sabun dicampur bersama-sama dengan aroma, pewarna dan semua bahan
lainnya. Campuran itu kemudian dihomogenkan dan disempurnakan melalui rolling
mills untuk mencapai pencampuran menyeluruh dan tekstur seragam. Akhirnya,
campuran ini terus diekstrusi dari plodder tersebut, potong menjadi batangan
bar-ukuran unit dan dicap ke dalam bentuk akhir pada alat cetak bentuk sabun
(stamping press machine) yang kemudian di lanjutkan dengan pembungkusan (unit
packaging). Dalam
proses spray drying, bahan-bahan kering dan cair pertama kali digabungkan ke
dalam bentuk bubur, atau suspensi tebal, dalam sebuah tangki yang disebut
Crutcher. Bubur dipanaskan dan kemudian dipompa ke bagian atas sebuah menara di
mana ia disemprotkan melalui nozel di bawah tekanan tinggi untuk menghasilkan
tetesan kecil. Tetesan jatuh melalui arus udara panas, membentuk butiran
berongga saat kering. Granul kering yang dikumpulkan dari bagian bawah menara
semprot di mana mereka disaring untuk mencapai ukuran yang relatif seragam. Setelah
butiran telah didinginkan, bahan-bahan penambah yang tidak kompatibel dengan
suhu pengeringan saat penyemprotan (seperti pemutih, enzim dan aroma)
ditambahkan. Teknologi baru telah memungkinkan
sabun dan industri deterjen untuk mengurangi udara di dalam butiran selama
pengeringan semprot untuk mencapai kepadatan yang lebih tinggi. Bubuk kepadatan
lebih tinggi dapat dikemas dalam paket yang jauh lebih kecil dari yang
diperlukan sebelumnya.
Aglomerasi, yang mengarah ke bubuk
kepadatan lebih tinggi, terdiri dari pencampuran bahan baku kering dengan bahan
cair. Dibantu oleh adanya pengikat cair, penggilingan atau penyebab pencampuran
geser bahan untuk bertabrakan dan menempel satu sama lain, membentuk partikel
yang lebih besar.
2. Netralisasi Neutralisasi
dapat didefinisikan sebagai reaksi antara proton (atau ion hidronium) dan ion
hidroksida membentuk air. Dalam bab ini kita hanya mendiskusikan netralisasi di
larutan dalam air.
H+ + OH-–> H2O
H3O+ + OH-–> 2H2O
Jumlah mol
asam (proton) sama dengan jumlah mol basa (ion hidroksida). Dengan
bantuan persamaan di atas, mungkin untuk menentukan konsentrasi basa (atau
asam) yang konsentrasinya belum diketahui dengan netralisasi larutan asam (atau
basa) yang konsentrasinya telah diketahui. Prosedur ini disebut dengan titrasi
netralisasi.
a. Garam
Setiap asam
atau h=garam memiliki ion lawannya, dan reaksi asam basa melibatkan ion-ion
ini. Dalam reaksi netralisasi khas seperti antara HCl dan NaOH. Memang NaCl
bersifat netral. Namun, larutan dalam air beberapa garam kadang asam atau basa.
Misalnya, natrium asetat, CH3COONa, garam yang
dihasilkan dari reaksi antara asam asetat dan natrium hidroksida, bersifat asam
lemah. Sebaliknya, amonium khlorida NH4Cl, garam yang
terbentuk dari asam kuat HCl dan basa lemah amonia, bersifat asam lemah.
Fenomena ini disebut hidrolisis garam.
Diagram
skematik hidrolisis ditunjukkan di Gambar 9.1. Di larutan dalam air, garam AB
ada dalam kesetimbangan dengan sejumlah kecil H+ dan OH- yang dihasilkan dari elektrolisis air
menghasilkan asam HA dan basa BOH (kesetimbangan dalam arah vertikal). Karena
HA adalah asam lemah, kesetimbangan berat ke arah sisi asam, dan akibatnya [H+] menurun. Sebaliknya, BOH adalah basa kuat dan
terdisosiasi sempurna, dan dengan demikian todak akan ada penurunan konsentrasi
OH-. Dengan adanya disosiasi air, sejumlah H+ dan OH- yang sama
akan terbentuk.
Gambar 9.1Hidrolisis garam.
b. Kurva titrasi
Dalam reaksi
netralisasi asam dan basa, atau basa dengan asam, bagaimana konsentrasi [H+], atau pH, larutan bervariasi? Perhitungan [H+] dalam titrasi asam kuat dengan basa kuat atau
sebaliknya basa kuat dengan asam kuat tidak sukar sama sekali. Perhitungan ini
dapat dilakukan dengan membagi jumlah mol asam (atau basa) yang tinggal dengan
volume larutannya.
Perhitungannya
akan lebih rumit bila kombinasi asam lemah dan basa kuat, atau yang melibatkan
asam kuat dan basa lemah. [H+] akan bergantung
tidak hanya pada asam atau basa yang tinggal, tetapi juga hidrolisis garam yang
terbentuk. Plot [H+] atau pH vs. jumlah asam atau basa yang ditambahkan disebut
kurva titrasi.
1. TITRASI ASAM KUAT DAN BASA KUAT.
- Sebelum
titik ekivalen:
Karena
disosiasi air dapat diabaikan, jumlah mol H+ sama dengan
jumlah sisa asam yang tinggal. [H+] = (MAVA – MBvB)/(VA + vB)
- Pada titik
ekivalen:
Disosiasi
air tidak dapat diabaikan di sini.
[H+] = √Kw = 10-7 (9.46)
- Setelah
titik ekivalen:
Jumlah mol
basa berlebih sama dengan jumlah mol ion hidroksida. [OH-] dapat diperoleh dengan membagi jumlah mol dengan
volume larutan. [OH-] yang diperoleh diubah menjadi
[H+].
[H+] = Kw/[OH-] = (VA + vB)Kw/(MBvB – MAVA) (9.48)
Kurvanya
simetrik dekat titik ekivalen karena vB ≒ VA.
2. TITRASI ASAM LEMAH DENGAN BASA KUAT
Hasilnya
akan berbeda bila asam lemah dititrasi dengan basa kuat. Titrasi 10 x 10-3 dm3 asam asetat
0,1 mol dm-3 dengan NaOH 0,1 mol dm-3 merupakan contoh khas.
[1] Titik
awal: vB = 0. pH di tahap awal lebih besar dari di kasus sebelumnya. [H+] = MAα (9.49) α adalah
tetapan disosiasi asam asetat.
[2] sebelum
titik ekivalen: sampai titik ekivalen, perubahan pH agak lambat.
[3] pada
titik ekivalen (vB = 10 x 10-3 dm3): pada titik ini
hanya natrium asetat CH3COONa yang ada.
[H+] dapat diperoleh dengan cara yang sama dengan pada
saat kita membahas hidrolisis garam.
[4] setelah
titik ekivalen. [H+] larutan ditentukan oleh
konsentrasi NaOH, bukan oleh CH3COONa.
(3) TITRASI BASA LEMAH DENGAN ASAM
KUAT
Titrasi 10 x
10-3 dm3 basa lemah
misalnya larutan NH3 0,1 mol dm-3 dengan asam kuat misalnya HCl 0,1 mol dm-3 (Gambar 9.3). Dalam kasus ini, nilai pH pada
kesetimbangan agak lebih kecil daripada di kasus titrasi asam kuat dengan basa
kuat. Kurvanya curam, namun, perubahannya cepat di dekat titik kesetimbangan.
Akibatnya titrasi masih mungkin asalkan indikator yang tepat dipilih, yakni
indikator dengan rentang indikator yang sempit.
(4) TITRASI BASA LEMAH (ASAM LEMAH) DENGAN ASAM LEMAH (BASA LEMAH). Dalam titrasi jenis ini, kurva
titrasinya tidak akan curam pada titik kesetimbangan, dan perubahan pHnya
lambat. Jadi tidak ada indikator yang dapat menunjukkan perubahan warna yang
jelas. Hal ini berarti titrasi semacam ini tidak mungkin dilakukan.
c. Kerja bufer
Kerja bufer
didefinisikan sebagai kerja yang membuat pH larutan hampir tidak berubah dengan
penambahan asam atau basa. Larutan yang memiliki kerja bufer disebut larutan
bufer. Sebagian besar larutan bufer terbentuk dari kombinasi garam (dari asam
lemah dan basa kuat) dan aam lemahnya. Cairan tubuh organisme adalah larutan
bufer, yang akan menekan perubahan pH yang cepat, yang berbahaya bagi makhluk
hidup. Nilai
pH larutan bufer yang terbuat dari asam lemah dan garamnya dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut.
pH = pKa + log([garam]/[asam]) (9.54)
d. Indikator
Pigmen
semacam fenolftalein dan metil merah yang digunakan sebagai indikator titrasi
adalah asam lemah (disimbolkan dengan HIn) dan warnanya ditentukan oleh [H+] larutan. Jadi, HIn H+ + In- …. (9.55)
Rasio konsentrasi indikator dan
konjgatnya menentukan warna larutan diberikan sebagai:
KIn = [H+][In-]/[HIn], ∴ [In-]/[HIn] = KIn/[H+] … (9.56)
KIn adalah konstanta disosiasi indikator.
Rentang pH
yang menimbulkan perubahan besar warna indikator disebut dengan interval
transisi. Alasan mengapa ada sedemikian banyak indikator adalah fakta bahwa
nilai pH titik ekivalen bergantung pada kombinasi asam dan basa. Kunci
pemilihan indikator bergantung pada apakah perubahan warna yang besar akan
terjadi di dekat titik ekivalen.
Daftar Pustaka :
No comments:
Post a Comment